Family Business vs. Start Up Business.
Dalam keseharian anda, seberapa sering anda menjumpai entitas family business di sekitar anda? Pasti cukup sering bukan?
Barangkali yang paling jamak berupa toko atau tempat makan, dengan nama-nama generik yang mencantumkan founder-nya semacam ‹Soto Pak Anu› dan ‹Sambal Bu Anu›, atau bahkan nama-nama dengan latar belakang filosofis yang pada akhirnya tetap berujung menjadi generik semisal ‹Toko Binar Terang›. Besar kemungkinannya, entitas-entitas tersebut anda ketahui keberadaannya berkat seringnya anda melewati lokasi fisik mereka ketika sedang dalam perjalanan.
Tentunya ada beraneka ragam entitas family business yang tak serta merta dapat digeneralisasi, namun yang sudah well established hingga mencapai skala besar umumnya sudah berdiri sejak belasan atau puluhan tahun lalu—pada masa ketika internet, ponsel, atau bahkan pager belum ada—sehingga cara termudah agar diketahui dan didatangi calon pembelinya adalah dengan cara memilih lokasi yang tepat (baca: ramai). Kemudian berkat pelayanan memuaskan yang berkelanjutan, lambat laun pembeli terkonversi menjadi pelanggan, consumer trust diraih dan consumer base berkembang lewat word of mouth.
Sebuah strategi pemasaran dan pengembangan bisnis yang lumrah dan manjur pada masanya, tetapi barangkali tak lagi ideal pada masa sekarang. Sebuah masa dimana selain saling bersaing antara satu dan lainnya, entitas family business tersebut juga akan bersaing dengan entitas tandingan kekinian yang biasa dikenal sebagai start up business. Entitas yang sebagian besar aktifitasnya berlangsung di ranah digital sehingga slogan «location, location, location» tak terlalu berdampak pada kelangsungan bisnis mereka. Consumer base dapat meningkat pesat dalam waktu lebih singkat—sebagai contoh, monthly active users Facebook naik 80 juta sepanjang tahun 2018¹—dan word of mouth telah digantikan oleh online reviews.
Fitur layanan pesan makanan atau beli barang yang ditawarkan entitas start up business semacam Go-Food atau Tokopedia, walau tak berdampak langsung tentu akan mengubah pola buying decision, sebab calon pembeli dapat dengan mudah membandingkan sejumlah entitas family businesslangsung pada layar gawai mereka. Dihadapkan pada era peralihan analog ke digital yang kian disruptif, sebagian entitas family business biasanya turut beradaptasi dengan membuat akun pada aplikasi atau web app entitas start up business. Sebagian lagi mengambil langkah lebih lanjut dengan membuat akun pada kanal-kanal media sosial, kemudian memanfaatkannya sebagai sarana promosi.
Sayangnya belum banyak yang sadar akan manfaat website untuk mengukuhkan online presence mereka, meski kini kian terjangkau biayanya. Bilapun sudah, umumnya masih terpaku pada orientasi pemasaran offline dan memperlakukan website ibarat sekedar brosur online. Padahal sebagai sebuah touchpoint digital, website sebenarnya dapat pula didayagunakan untuk bermacam hal lain, mulai dari kampanye pemasaran interaktif—misalnya Go-Tan, entitas family business pembuat produk makanan di Belanda yang mengundang konsumennya untuk bergabung jadi ‹Go-Tan family› untuk dikirimi resep dan tips pribadi dari salah satu founder-nya²—hingga riset pengumpulan data mengenai perilaku konsumen atau selera pasar.
Entitas family business sebenarnya mempunyai keunggulan tersendiri yang susah disamai entitas start up business, yakni konsumen cenderung lebih mudah mempertalikan diri mereka dengan nama figur-figur dibalik entitas family business, dibanding dengan entitas start up business yang lebih terkesan sebagai sebuah korporasi tanpa wajah. Kesimpulannya, barangkali sudah saatnya entitas family business mulai mempertimbangkan potensi maksimal peran website dalam melandasi akselerasi business growth, serta memperbarui pola pemasaran agar lebih selaras dengan generasi millenial yang digital minded, sehingga mencapai kesinambungan online to offline (O2O) dan sebaliknya.
How to Enhance Your Online Presence
Sebelum memulai langkah strategis di ranah online, ada baiknya pula memahami dahulu beberapa faktor yang menjadi karakteristik umum mayoritas website yang berperforma baik. Hal-hal yang paling mendasar dalam membangun sebuah website antara lain sebagai berikut:
1. Desain
Desain yang menarik akan membentuk image dari sebuah brand dan setidaknya membuat pengunjung bertahan lebih lama di dalam website tersebut.
2. Responsive
Pada 2018, 52,2% dari seluruh lalu lintas online di seluruh dunia dihasilkan melalui telepon seluler, naik dari 50,3% di tahun sebelumnya³. Bisa anda bayangkan, jika anda sudah membuat website dengan baik, namun informasi yang muncul tidak terbaca di telepon seluler.
3. Eyecatching dan Informatif
Dalam dunia desain, ada yang namanya brand awareness, yaitu kemampuan konsumen dalam mengenali atau mengingat sebuah merek. Maka dari itu, desain yang eyecatching memudahkan pengunjung untuk mengingat brandanda, sekaligus mendapatkan informasi secara cepat dan jelas. Seperti yang kita sebutkan sebelumnya, sebab calon pembeli dapat dengan mudah membandingkan sejumlah entitas family business langsung pada layar gawai mereka. Jadi, penting bagi mereka untuk mengetahui seberapa baik produk atau jasa anda dibandingkan dengan kompetitor.
4. Terintegrasi
Setelah mereka mengetahui brand anda, mereka yang tertarik akan melakukan tindak lanjut, yaitu menghubungi anda, atau membeli produk anda. Cantumkan informasi kontak anda dengan jelas, bila perlu tautkan dengan marketplace yang anda gunakan sehingga tujuan tercapai, yakni penjualan.
Selamat memacu perjalanan anda melintasi information superhighway!
– Chyki Febrina / visual branding designer
– Jimmy Ofisia / climate conscious designer
– Gradin design studio
(tulisan ini pertama kali diterbitkan di Connect magazine #17)
———
[1] http://statista.com/statistics/264810/number-of-monthly-active-facebook-users-worldwide
[2] http://issuu.com/br-nd/docs/br-nd_family_business_branding_los
[3] http://statista.com/statistics/241462/global-mobile-phone-website-traffic-share